Kontroversi Pernyataan ‘Wajib PWI’: Komdigi Dikecam, Kebebasan Pers Terancam?

oleh -447 Dilihat
oleh
Ilustrasi: Pernyataan 'Wajib Kerja Sama dengan PWI' menuai kritik, dinilai langgar kebebasan pers dan prinsip netralitas pemerintah./Humas SWI, www.newsokegas.com
400x100
Spread the love
News Oke Gas (Jakarta) – Pernyataan Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid yang mewajibkan pemerintah daerah (Pemda) untuk menjalin kerja sama eksklusif dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) telah memicu badai kritik dari berbagai kalangan pers nasional.

Kebijakan kontroversial ini dinilai sebagai bentuk intervensi yang mengancam kebebasan pers, melanggar prinsip netralitas pemerintah, dan berpotensi menciptakan diskriminasi terhadap organisasi wartawan lainnya di Indonesia.

banner 336x280

Pernyataan yang dirilis pada Minggu, 5 Oktober 2025, pukul 10.00 WIB ini, langsung menuai reaksi keras.

Plt. Ketua Umum Sekber Wartawan Indonesia (SWI), Ir. Herry Budiman, dengan tegas menyatakan bahwa diksi “wajib” yang digunakan oleh Menteri Komdigi mencerminkan potensi intervensi pemerintah terhadap kemerdekaan organisasi pers.

“Diksi ‘wajib’ itu bersifat memerintah. Apakah pemerintah justru ingin membangun dikotomi di antara organisasi profesi wartawan? Ini sangat berbahaya bagi demokrasi pers,” ujar Herry, yang juga menjabat sebagai Sekjen SWI.

Menurutnya, pemerintah seharusnya berperan sebagai fasilitator yang netral, bukan regulator yang mengarahkan dukungan hanya kepada satu organisasi tertentu.

Melanggar Hak Konstitusional dan Asasi Manusia

Hak kebebasan pers dan berserikat dijamin secara konstitusional oleh Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Kedua pasal ini menegaskan hak setiap orang untuk berkomunikasi, memperoleh informasi, serta berserikat secara bebas.

Kostaman, S.H., Pimpinan Redaksi Berita Top Line yang juga seorang praktisi hukum, menegaskan bahwa arahan “wajib” kepada Pemda untuk hanya bekerja sama dengan satu organisasi wartawan bertentangan dengan prinsip non-diskriminatif.

“Negara tidak boleh memonopoli pembinaan atau akses kerja sama hanya kepada satu wadah profesi. Itu bisa menciptakan diskriminasi terhadap organisasi pers lain seperti AJI, IJTI, SMSI, atau SWI,” tegasnya.

Kritik Pedas dari Akademisi dan Pendiri SWI

Imam Suwandi, S.Sos., M.I.Kom., Kabid Diklat & Litbang DPP SWI, menyoroti potensi munculnya “gap” antarorganisasi wartawan akibat kebijakan ini.

“Jika pernyataan seperti ini dibiarkan, akan muncul persepsi bahwa hanya satu organisasi yang diakui pemerintah. Ini bisa menjadi ‘kenormalan baru’ yang berbahaya bagi kebebasan pers,” ujarnya, seraya mendesak Dewan Pers untuk memberikan klarifikasi agar tidak terjadi multitafsir di lapangan.

Maryoko Aiko, pendiri Sekber Wartawan Indonesia (SWI), bahkan menilai pernyataan Menteri Komdigi “ugal-ugalan” dan berpotensi menimbulkan implikasi hukum.

“Sebagai pejabat publik, seorang menteri harus memahami batas kewenangan. Jika Pemda diarahkan ‘wajib’ menjalin kerja sama hanya dengan PWI, maka bisa timbul potensi pelanggaran hukum seperti penyalahgunaan wewenang atau bahkan indikasi Tipikor, karena mengarahkan anggaran hanya ke satu pihak,” tegas Maryoko.

Ia menekankan pentingnya netralitas pemerintah dan membuka ruang bagi semua organisasi pers yang legal.

Pemerintah Harus Menjamin Kebebasan Pers, Bukan Mengarahkannya

Para tokoh pers sepakat bahwa tugas pemerintah adalah menjamin kebebasan pers sesuai amanat undang-undang, bukan menentukan siapa yang layak diajak bekerja sama.

“Pers itu pilar demokrasi, bukan bawahan kekuasaan. Pemerintah seharusnya mendorong kolaborasi lintas organisasi, bukan menutup ruang bagi yang lain,” kata Kostaman.

Ia menambahkan, kemerdekaan pers adalah hak publik yang dijamin negara, bukan hak istimewa organisasi tertentu.

Dalam pernyataan sikapnya, SWI menegaskan pentingnya menjaga kedaulatan pers nasional dengan prinsip profesionalisme, akurasi, dan verifikasi, bukan monopoli atau sentralisasi organisasi.

“Kerja sama boleh, tapi bukan dalam bentuk kewajiban tunggal. Pers harus berdiri sejajar dengan pemerintah, bukan di bawahnya,” tutup Herry Budiman.

Langkah penegasan sikap ini diharapkan menjadi pengingat bahwa kemerdekaan pers adalah milik seluruh insan pers Indonesia, bukan milik satu organisasi. Pemerintah sebaiknya menjadi penjamin keberagaman, bukan penentu arah tunggal.

Redaksi Berita Top Line menilai bahwa narasi “wajib kerja sama dengan PWI” perlu segera diluruskan agar tidak menimbulkan preseden buruk dalam ekosistem pers nasional. Kebijakan yang adil dan konstitusional harus berlandaskan UU Pers No. 40/1999, UUD 1945 Pasal 28F, dan prinsip non-diskriminatif sebagaimana tertuang dalam UU HAM No. 39/1999.

Penguatan kedaulatan pers sejati hanya dapat diwujudkan melalui kolaborasi lintas organisasi, bukan pengutamaan satu wadah semata.

Indonesia membutuhkan pers yang bebas, berdaulat, dan berkeadilan — bukan pers yang tunduk pada kekuasaan. (Red*/HUM SWI)

#Stetmen Menkomdigi
#Ciderai Insan Pers
#SekberWartawanIndonesia

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.